Bibir Adel tertekuk, tapi tangannya masih sibuk mengaduk Whiskas basah dan kering jadi satu. Porsinya cukup untuk Lala, kucing hitamnya. Sudut matanya menangkap kelabunya awan dari jendela depan. "Haduh, Lala ntar kehujanan ga ya?"
Tuk tuk tuk! Ia mengetuk-ngetuk sisi wadah makan Lala. Kalau memang ada di sekitar sana, Lala akan segera lari menujunya saat mendengar bunyi itu. Terutama jika jam makan sudah tiba.
Memang benar setelah itu ada yang turun tangga, tapi alih-alih kucingnya, yang datang malah Lira, kakak Adel. Lira langsung melirik ke tangan Adel. "Apaan tuh, Del? Makanan?"
"Iya, punya Lala."
"Cih, sudah kuduga."
Adel mencibir ke arahnya. Kakaknya itu pasti ke dapur untuk mencari makanan saja. "Gantian, nanti malam Kakak yang kasih."
"Iya, iya," sahut Lira asal sambil membuka pintu kulkas. Cahaya lampu kulkas menerangi sosoknya. Mendung di luar membuat dapur lebih gelap dari biasanya. "Terus mana Lala sekarang?"
Adel tertegun. Lidahnya kelu sesaat. Setelah menarik napas yang goyah, akhirnya dia bisa menjawab, "Udah lama Lala jadi sering keluar rumah. Kata anak-anak tetangga, dia ngeong-ngeong keliling kompleks kaya nyariin sesuatu..."
Pintu kulkas tertutup pelan. Kedua pasang mata tertuju ke pohon mangga di taman depan rumah. Beberapa petak tanah di sekitar pohon itu tidak tertutup rumput hias. Mereka tidak sempat menanam ulang di atas tanah gembur hasil-hasil galian mereka.
Hasil-hasil. Majemuk. Beda-beda umurnya, tapi jaraknya tidak lama. Hanya selang satu atau dua hari sebelum galian baru muncul lagi.
Adel meneguk ludah, tapi rasanya pahit. Terik matahari saat mereka menggali kuburan-kuburan kecil untuk bayi-bayi Lala masih membayang di kulit lengannya. Dilapisi dedaunan, dengan kedalaman yang cukup untuk tidak menyebarkan bau, Adel dan Lira pun mengubur para kitten itu satu per satu.
"Apa Lala ngerti ya, kalau anak-anaknya udah ngga ada?" lirih terdengar pertanyaan Adel. "Usia mereka kan baru berapa minggu."
Lira mendesah gusar.
"Mana mungkin ga ngerti. Dia kan overprotektif banget sama mereka." Kalimat Lira terhenti sesaat. "Apa jangan-jangan dia ngerasa bersalah? Kalau dia rajin minum obat, mungkin aja bayinya bisa selamat, kan..."
Dokter hewan yang mereka kunjungi mendiagnosis para kitten dengan penyakit semacam virus corona yang menyerang kucing saja. Begitu terkena satu, yang lain bernasib sama. Bayi-bayi kucing itu belum bisa minum obat sendiri, sehingga mereka hanya bisa mendapatkan obat dari air susu induknya. Masalahnya, Lala sangat sulit diberi obat. Dia selalu melawan dan memuntahkan obat-obat itu. Seminggu setelah pengobatan, satu per satu, kelima bayinya meninggal. Tidak ada yang tersisa.
"Ngga gitu, Kak. Umur itu kan takdir Allah," Adel menangkis ujaran kakaknya. Sengaja. Jika dibiarkan, kesedihan Lira bisa berlarut-larut.
Lira tersenyum sebelum menepuk pundak adiknya. "Iya, ya. Lala pintar kok, dia pasti pulang sebelum hujan."
Adel mengangguk, lalu menunduk untuk menaruh wadah makan kucing di lantai dapur. Siap menunggu saat kucing hitamnya akan pulang. Mungkin Lala memang butuh waktu untuk berduka, sama seperti mereka.
Namun, siapa sangka? Dua bulan kemudian, yang hilang lima malah jadi tujuh. Jadi dia keliling kompleks itu bukan untuk cari bayinya, toh? Dasar Lala!
~
Fiksi mini, 481 kata.
In loving memory.
Krucil, Rocky, Abu, dan kedua bayi Lulu yang lain,
yang belum dinamai sebelum mesti direlakan pergi.
Bisa ikut merasakan sedihnya mengeduk tanah untuk bayi-bayi kucing.
BalasHapus